Komentar dari Direktur Kegiatan
本プロジェクトについて

Direktur Atsushi Kadowaki
ディレクター 門脇篤

 Terima kasih untuk datang ke acara “Aceh – Jepang Community Art Project 2017”. Saya, Atsushi Kadowaki seorang seniman modern art Jepang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan project ini. Disini, saya ingin menjelaskan alasan kenapa project ini bukan dinamai “art” saja, akan tetapi kami namakan “community art”. Juga kami ingin menjelaskan mengenai karya dan kegiatan berdasarkan penamaan kegiatan ini.
 Saya sudah memulai kegiatan bertajuk “Community Art” selama 15 tahun lamanya di Jepang. Padahal saya sama sekali tidak mengenyam bangku kuliah di universitas dengan jurusan seni. Malah saya mempelajari bahasa Arab dan kebudayaan Arab juga mempelajari tentang budaya Islam. Untuk pelajaran bahasa Arab yang saya tekuni, sampai-sampai nilai saya jelek karena saya tidak bisa menguasainya. Menurut saya sebagai orang yang tumbuh besar di Jepang, modernisasi Barat maupun kapitalismenya sangatlah hebat dan berkembang dengan cepat tiada bandingannya dengan jaman sekarang. Dengan adanya kesempatan mengetahui perbedaan nilai dan juga budaya antara Jepang dan Barat, saya merasa sangatlah beruntung.
 Pada tahun 2003, pertemuan saya dengan Bapak Murakami Takashi (dalam project ini beliau ikut serta dengan tema “3.11 Memorial Project”) merupakan titik balik permulaan kegiatan yang sekarang ini. Sudah 10 tahun lamanya saya membuat karya lukis, kemudian memamerkan dan juga menjualnya pada galeri seni kecil yang membuat saya tidak bisa merasakan bagaimana masa depan. Melihat dari pengalaman saya itu, saya menjadi berpikir “seni harusnya lebih menarik!”.
 Selain mengajar kelas Project Art di suatu universitas, Murakami Takashi menggunakan ruangan pertokoan yang ada di Sendai dan berkumpul dengan semua seniman sambil mempraktekan karya seninya. Dalam kesempatan tersebut saya juga ikut serta dan bersama-sama dengan masyarakat kota untuk dapat memiliki pengalaman dalam pembuatan suatu karya. Bagi orang yang berkecimpung dibidang seni, kegiatan tersebut seperti membuka isi batin, layaknya mimpi yang tiada akhir. Hal ini juga membuat suatu berpikir bahwa membuat karya sendiri itu sangatlah membosankan. Ya, “Seni harusnya lebih menarik!” begitulah angan saya yang kemudian secara perlahan dan bersamaan makna “seni” itu pun mulai terkuak.
 Nakadaira Chihiro, seorang pengajar SMP di Prefecture Nagano (pada project ini mengenalkan Togabi Project) yang membimbing angan saya. Beliau, memiliki pandangan bahwa pendidikan dan mata pelajaran sekolah di Jepang memiliki karakteristik bahwa siswa harus menemukan jawaban yang memang sudah disediakan. Sebaliknya sebagai seorang seniman, Nakadaira Chihiro berpendapat bahwa siswa sendiri haruslah memiliki kemampuan untuk menemukan permasalahan dan juga mereka sendiri yang harus mencari jawabannya juga penyelesaiannya (muncul juga pemikiran bahwa pendidikan seni rupa tidak perlu). Nakadaira Chihiro berpendapat bahwa memberikan penilaian dengan standar sepele seperti “pintar/bodoh” “tepat/tidak tepat” adalah hal yang salah dan sebaiknya kita harus memberikan penilaian atas perkembangan orang yang bersangkutan dalam mengikuti suatu pembelajaran. Tujuan utama dari pemikiran beliau atas dasar bahwa pada akhirnya siswa-siswa yang beliau didik akan masuk ke dalam suatu lingkungan masyarakat, bercampur dengan orang-orang dewasa untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada lingkungannya, dari pengalaman praktikal si siswa di sekolahnya tersebut diharapkan mereka dapat memberikan perubahan di lingkungannya.
 “Pendidikan Seni” yang dicetuskan oleh Bapak Nakadaira ini layaknya seperti coretan indah terlukis membentuk suatu karya “Seni” yang menyimpang dari yang seharusnya. Sama halnya dengan “Seni” yang saya miliki ini bukan hanya untuk para seniman atau penyuka seni, tapi dalam arti milik masyarakat yang lebih luas.  Hal yang hebat dari suatu hal terbaik yang dimiliki manusia bukanlah makna “seni” itu sendiri, akan tetapi proses bagaimana kita bisa mengekspresikan suatu hal menarik dan hebat yang memang sudah ada dan muncul di sekitar kita. Itu lah “seni” yang sebenarnya menurut saya. Seni memang sudah terberkahi kepada diri manusia sejak lahir dan manusia bisa menemukan bakatnya itu sendiri. Oleh karena itu, apabila saya menjadi seorang “seniman”, maka tugas saya adalah menemukan bakat manusia tersebut, membantunya agar dapat melihat bakatnya itu sendiri, juga memperkenalkannya dengan hal-hal baru. Akan hal tersebut, yang ingin anda pahami adalah bahwa “Community Art” merupakan suatu kegiatan dimana orang yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu bahwa mereka itu bisa berkespresi dengan berkumpul bersama para seniman dan bersama-sama menggali bakat yang belum terasah.
 Melihat penjelasan diatas, sebagai salah satu contoh Community Art yang bukan hanya terbaik di Aceh, tapi juga terbaik di dunia, yaitu melalui kegiatan Komunitas Tikar Pandan Bapak Nur Amal. lewat TV Eng-Ong nya, penampilan yang menirukan acara di televisi ini, masyarakat diajak berkomunikasi dengan penampil yang masuk ke dalam benda berbentuk televisi besar tanpa menghiraukan waktu. Kegiatan ini pertama kali diadakan pada saat terjadi konflik Aceh dan berlanjut sampai sekarang. Berkeliling tampil ke setiap desa-desa, membuat masyarakat tertawa, menghibur juga memberikan pengetahuan, cinta, kepercayaan mendalam dan semangat kepada semua orang. Itulah salah satu fungsi dari seni dan kegiatan yang ada kaitannya dengan masyarakat. Kali ini, dengan tema memperingati bencana alam tsunami di Aceh, kami menggunakan PLTD Apung sebagai lokasi acara, dan dengan bangga menghadirkan TV Eng-Ong beserta bintang tamunya yaitu saksi hidup dari bencana alam gempa dan tsunami Jepang.
 Kemudian, merupakan suatu penghormatan kepada kami karena kami diberikan kesempatan untuk meletakkan bermacam karya instalasi baru di PLTD Apung melalui project ini. Hal ini terwujud atas bantuan permohonan Bapak Restu Wardana seorang pematung dari Aceh yang karyanya juga ada di PLTD Apung sebagai sebuah monumen peringatan. Beliau terkenal sebagai seorang pendidik, sampai sekarang banyak sekali orang yang sudah di didik oleh beliau. Meskipun diiring rasa cemas akan pendidikan seni rupa di Aceh, namun harapan besarnya mengalahkan segalanya. Sama dengan kisah Bapak Nakadaira yang saya ceritakan sebelumnya, menurut saya tujuan dan harapan dari Bapak Restu ini dapat meningkatan jumlah penggemar seni maupun jumlah para seniman yang ada di Aceh. Sudut pandang beliau, sikap, perasaan, maupun strategi yang diluar dugaan. Hal ini dapat menonjolkan potensi kekuatan Aceh dari mulai mengembangkan perekonomian sampai ke berbagai hal. Pada akhirnya, melalui seni, kami ingin memberikan kesadaran kepada masyarakat akan potensi-potensi baru yang akan muncul. Saya tidak akan pernah melupakan pernyataan beliau untuk membangun pemahaman akan seni dan pendidikan.
 Pada musim panas tahun ini, anak muda Aceh datang berkunjung ke Tohoku Jepang. Mereka mengikuti kegiatan yang di selenggarakan oleh Chikyuu Taiwa Labo dengan perasaan penuh tanggung jawab dan keingin tahuan yang kuat.
 Kehm atau nama lengkapnya Kamarullah Gani, selain merupakan mahasiswa perguruan tinggi, juga membimbing anak-anak dalam mempelajari Bahasa Inggris. Khususnya di daerah yang bernama Langsa, dengan bekerja bersama kalangan muda lainnya, Kehm membuat suatu program pendidikan untuk memajukan pemahaman antar budaya. Di Jepang, Kehm berkunjung ke Fukushima, Miyagi, dan wilayah bencana di daerah Tohoku. Kehm juga pergi ke kuil dan pemandian umum, bertemu banyak orang sampai dibuat susah oleh anjing dan hal-hal lainnya yang belum pernah dia alami sebelumnya. Apa yang dia lihat di daerah Tohoku, tertuang pada satu buku yang diberi judul “Kehm no Tohoku Repoto” atau Laporan Kehm di Tohoku (Bukunya dipamerkan di Museum Tsunami Aceh). Semuanya dibuat tidak dalam unsur kesengajaan, buku ini merupakan kumpulan tulisan dan foto-foto yang dia tuangkan ke dalam facebook nya selama dia ada di Jepang. terkadang ada beberapa kesalahan nama tempat ataupun informasi yang dia dengar atau lihat, namun saya sengaja untuk tidak menegurnya untuk memperbaikinya. Karena menurut saya, kesalahan yang dia lakukan merupakan salah satu bagian dari pengalaman yang dia dapatkan.
  Ada juga Wirdawati yang dipanggil Wirda. Wirda tinggal di luar kota Aceh, di daerah yang bernama Desa Lampira. Wirda merupakan ketua dari organisasi bimbingan belajar TPMT di daerahnya. Dalam kegiatannya di Tohoku, Wirda memiliki pengalaman yang tidak terlupakan dengan “Tengoku Post” atau layanan pos ke surga. Layanan pos ini dikelola oleh Ikari Hiroyuki yang tinggal di Kota Iwaki Prefecture Fukushima. layanan pos ini dibuat untuk orang yang kehilangan anggota keluarganya karena tsunami dan dengan layanan ini orang tersebut dapat mengirimkan suratnya kepada anggota keluarganya yang sudah ada di surga. Pada saat perjalanan menuju Reborn Art Festival yang diadakan di semenanjung Oshika Kota Ishinomaki Prefecure Miyagi, Wirda menyatakan ingin membuat layanan pos tersebut di Museum Tsunami Aceh dalam versi Aceh. Menanyakan mengenai tujuannya, Wirda menjelaskan bahwa meskipun manusia tidak bisa menyelamatkan dirinya dari bencana alam, namun manusia dapat segera melalui segala cobaan tersebut. Melalui rekonstruksi di Aceh, Wirda ingin memberikan pengalaman akan bencana alam kepada seluruh umat manusia yang ada di belahan dunia lainnya.
 Jepang yang memiliki sejarah panjang dari mulai diselimuti api peperangan, banjir yang menyebabkan banyak anggota keluarga meninggal dunia, dan juga bencana gempa dan tsunami, Fujisawa Tatsuko atau dipanggil TATSUKO 88 yang berumur 88 tahun dan tinggal di pemukiman sementara pasca bencana yang ada di Sendai menciptakan lagu “Donna koto datte nori koete ikeru” atau dalam bahasa Indonesia artinya “bisa melalui segala hal” dan juga lagu rap yang berjudul “Ore no Jinsei” yang memiliki arti “Kehidupan ku”. Dengan terpisah jarak dan waktu, proses rekaman lagu ini bekerja sama dengan seorang anak 8 tahun yang tinggal di Aceh, dia bernama Cinta. Lagu rap ini digubah juga dalam versi bahasa Aceh dan dibuat ke dalam video musik. (Ditayangkan di Museum Tsunami Aceh).  Semuanya tidak bisa saya kenalkan disini, namun masih banyak lagi karya seni yang bisa dinikmati seperti Warung Kapal, yang berisikan pengenalan budaya Tohoku Jepang dan Aceh melalui makanan. Ada juga karya dari Parco Kinoshita yang memfokuskan karyanya pada lokasi bencana dan membuat karyanya dan workshopnya di tempat tersebut. Dengan tema bencana alam, “Keajaiban Dua Pohon Pinus” oleh Murakami Aika yang diadakan di pantai Ulele dengan latar belakang dua budaya masyarakat dari dua daerah yang berbeda, yaitu Jepang dan Aceh. Dari kegiatan ini juga diharapkan dapat memunculkan komunikasi hubungan satu sama lain antar manusia dan hanya ditempat tersebut diharapkan hal yang menarik dapat terjadi.
 Jumlah keseluruhan karya yang akan dipamerkan adalah 27 karya, dan banyak orang yang memiliki andil dalam kegiatan ini. Project kami diadakan di lokasi bencana dan atas bantuan masyarakat sekitarnya, diharapkan dapat memperdalam pemahaman akan seni dan juga penyampaian pentingnya pengetahuan akan bencana alam, juga dapat menjadi kesempatan untuk mengenali keberagaman satu sama lain. Kami pun menyediakan tour mengelilingi objek pameran dan satu persatu para pengunjung dapat mendengarkan penjelasan langsung dari para seniman yang memamerkan karyanya. Kami tunggu kedatangan dan partisipasi anda dalam acara kami!

 このたびは「アチェ=ジャパン・コミュニティアート・プロジェクト2017」にお越しいただき、誠にありがとうございます。私は本プロジェクトの企画を担当した日本の現代アーティスト、門脇篤です。ここでは、なぜこのプロジェクトには単に「アート」ではなく、「コミュニティアート」という長ったらしい名前がついているのか、またその意図に沿ってどのような作品や企画が選ばれたのかをご説明したいと思います。
 私は日本で「コミュニティアート」と呼ばれる取り組みを始めて15年ほどになります。美術の大学には行っていません。アラビア語学科でアラビア語とアラブ近現代史、そしてイスラム文化について若干学びました。アラビア語に関しては「不可」をつけられるほどにひどい成績でしたが、西洋近代主義や資本主義の価値観が今とは比べものにならないほどの優位性をもっていた高度成長期後の日本に生まれ育った私にとって、日本や西洋とは異なる価値観や文化についてふれる機会があったことは、非常に幸運なことだったと考えています。
 2003年、美術家・村上タカシ氏(本プロジェクトには「3.11メモリアル・プロジェクト」で参加)と出会ったことが、私が今の活動をはじめる直接のきっかけとなりました。それまでの約10年間、平面絵画を制作し、小さな画廊のようなところでそれらを発表して販売するというようなことを行っていた私は、そうした硬直したあり方に未来を感じることができませんでした。端的に言うなら、「アートはもっとおもしろいはずだ」と思っていたのです。
 村上タカシ氏は大学で「プロジェクトアート」の講座を担当する一方、仙台の商店街を会場に、多くの表現者たちを集め、それを実践しました。私もそれに参加し、まちの人たちとともに作品を作り上げる経験をしました。それは自己の内的世界を開陳する、というようなたぐいの表現活動を行なっている人間にとっては悪夢のような出来事の連続でした。しかし私は結果的にそれ以後、自分ひとりで何かを作ることを、全くつまらないと思うようになりました。そう、「アートはもっとおもしろいはずだ」という私の希望にこたえうる「アート」がとうとう見つかったのです。
 その私の思いを確信にまで導いてくれたのが、長野県の中学校教師・中平千尋氏(本プロジェクトで「とがびプロジェクト」を紹介)です。彼は、日本の学校教育が用意している教科のほとんどが、すでに用意された答えを探しだすだけのでのものに過ぎない中、美術教科だけが問題や答えを生徒自身が見つけ出し、解決していく可能性をもっていると考えていました(そうした可能性をもたない美術教育はいらないとも考えていました)。「うまい/へた」「あたった/はずれた」など瑣末な基準で評価されるようなものではなく、そこにかかわった人がどれだけ成長できたかで評価されるべきだと考えていました。最終的には生徒たちが地域に入り、大人たちとともに地域の課題について考え、実践していくことで社会を変えていくことを彼は目指していたのです。
 このように、中平氏が考えた「美術教育」とは、上手な絵を描いたりするような、いわゆる「美術」の範疇を大きく逸脱するものです。同じように、私は「アート」というものを、「アーティスト」や一部の愛好家のための特別なものではなく、もっと大きなものだととらえています。  それは素晴らしいものです。人間という存在が持ちうる最良のもののひとつだと思います。しかしそれは、それが「アート」だから素晴らしいのではなく、おもしろいことや素晴らしいことが私たちの生活の中で生まれ、それをどう表現したらいいのかほかに見つけられないので、「アート」と呼んでいるのだと私は考えています。だからそれはすべての人の営みの中で生まれ、発見されうるものです。もし「アーティスト」に役割があるとしたら、そうした人々の営みを発見し、撹乱し、よく見えるようにしたり、新たなものへと関係づけていくことではないでしょうか。アーティストと、自身を表現者とは思っていない人々との間のそうした営みが「コミュニティアート」であると私は理解しています。
 そうした意味で、コミュ二タス・ティカール・パンダンのアグス・ヌル・アマル氏による取り組みは、アチェにおいてだけでなく、世界におけるコミュニティアートの最良のもののひとつと私は考えています。彼の「TV eng-ong」はテレビ番組という体裁をとった即興劇です。中に入れる大きさのテレビに役者が入り、その場にいあわせた来場者とやりとりを行いながら、そこでしか成立しない時間を作り上げていきます。その活動はアチェの内戦時代に始まり今も続いています。村々を回って行われるそのパフォーマンスは、内戦下から津波後へ、社会は変われど、笑いと知性、人間への深い信頼と愛、つまりは人と人との絆でもってその場に居合わせた多くの人々を楽しませ、勇気づけてきました。それは社会との関わりの中でアートのもつ可能性を押し進めようとする稀有な取り組みであり、今回、アチェにおける津波の記憶の代名詞とも言えるPLTD Apungを会場に、東日本大震災の津波被災者の証言も取り入れた「TV eng-ong」を上演していただけることは無上の喜びです。
 また、アチェを代表する彫刻家であるレストゥ・ワルダハナ氏が、このPLTD Apungに設けられた、記念碑の傑作と言ってもいい自身の記念碑と対峙し、我々のプロジェクトのためにそこに新たなインスタレーション作品を制作したいと提案してくれたことも、たいへんに名誉なことと考えています。氏は教育者としても知られ、すでに多くの後輩を育てあげてきています。アチェにおける芸術教育について大きな危惧を抱くとともに、それよりも大きな希望を抱いています。先に引いた中平氏と同様、レストゥ氏が目指すところもまた単にアチェにアーティストやアートマニアを増やすことにあるのではないと私は考えています。常識にとらわれないものの見方や行動規範、感性、そして戦略。それはこのアチェという地のもつ潜在的な力を引き出すものであり、経済成長のかげでないがしろにされていくかもしれないさまざまな大切なものへのまなざしです。そうしたものをアートを通して人々に気づいてもらいたい。そのための教育やアートへの理解をいっしょに築いていってほしいとの「声明」を氏から受け取った夜のことを、私は生涯忘れることはないでしょう。
 アチェからこの夏、日本の東北を旅した若者がいます。彼らは非常に強い好奇心と責任感をもって地球対話ラボの提案するこの企画に参加しました。
 ケムことカマルッラー・ガニ氏は大学院で学ぶ一方、こどもたちに英語の指導を行なっています。特に故郷のランサでは異文化理解を進めるための教育プログラムを他の若者たちと企画し、実践しています。彼は福島、そして宮城と東北の被災地を回り、大浴場や神社、犬などにとまどいながら、多くの人に出会いました。彼の切り取った東北の風景は今回、「ケムの東北レポート」として1冊の本になります(アチェ津波博物館に展示)。それははじめからそのようなものとして企画されたものでは全くなく、旅の間、Facebookに投稿されていった一連の文章と写真をまとめたものです。時に誤った地名や情報も見られるものの、彼は特にそれを修正しようとはしませんでした。誤って受け取っていたのであればそれもすべて含めて、自分の経験と考えてのことと私は理解しています。
 バンダ・アチェ市郊外ランビラ村に住むウィルダことウィルダワティ氏は、地域の学習支援団体TPMTのリーダーです。彼女は東北の旅で、「天国ポスト」と出会いました。それは福島県いわき市に住む猪狩弘之氏が運営する「ポスト」で、津波で家族を亡くした人々が、天国の故人に向けて手紙を投函する場所です。ポストを後にして数日後、宮城県石巻市の牡鹿半島を中心に行われていた「リボーンアートフェスティバル」の会場を回る車の中で、ウィルダ氏はそのポストのいわば「アチェ版」をアチェ津波博物館でやりたいと考えていると私に語りました。その目的について彼女は、自然災害を人間は避けることができないが、しかし一方で人間はそれを乗り越えていける存在であることを、アチェの復興を通して世界の他の地域の人々やこれからの世代に対して伝えたいと語ってくれました。
 こうした若者の卓見は、日本で戦火をくぐりぬけ、その後も洪水や家族の死、そして東日本大震災を経験しながらも、なお「どんなことだって乗り越えていける」と歌う仙台の復興住宅に住む88歳(レコーディング当時)、TATSUKO 88こと藤沢辰子氏のラップ「俺の人生」が言わんとすることと、距離や時間を超えてつながっています。今回はレコーディング当時8歳のアチェ在住チンタ氏によるアチェ語のラップをフィーチャーしたアチェ語バージョンのミュージックビデオをご披露いたします(アチェ津波博物館で展示)。
 このほか、すべてをここでご紹介することはできませんが、食を通した東北とアチェの交流を行う屋台「ワルンカパル」や、あまり知られていない震災遺構にあえて光をあて、現地制作を行う美術家パルコキノシタ氏のワークショップや、日本とアチェ双方にある「奇跡の一本松」とそれへの姿勢を通して両地域の社会的文化的背景を浮き彫りにしていこうというアーティスト村上愛佳氏のウレレ海岸での取り組みなど、震災という重いテーマを抱えながらも、現場に身を置き、そこに生きる人々と行われるやりとりからは、そこでしか起こり得ないおもしろいこと、素晴らしいことが無数に生み出されてくることを予感させるものです。
 全部で27にのぼる出展作品と、これらに携わるたくさんの人々。震災遺構を持つコミュニティをメイン会場に行われる本プロジェクトは、震災の伝承とアートへの理解を深め、多様化させる機会となるでしょう。これらを回り、アーティストや語り部に話を聞くアートツアーも用意しています。ぜひご高覧いただきますようよろしくお願いいたします。